Sejarah Konflik Poso, Perang SARA Islam vs Kristen

Redaksi PetiknetJumat, 22 Juli 2022 | 15:14 WIB
Sejarah Konflik Poso, Perang SARA antara Islam vs Kristen
Sejarah Konflik Poso, Perang SARA antara Islam vs Kristen

Para pemuka agama kedua belah pihak kemudian bertemu. Keduanya, sepakat bahwa sumber masalahnya terletak pada minuman keras. Alhasil, Polres Poso pun mulai menyita ribuan minuman keras yang kemudian dihancurkan.

Saat itu, ada sebuah toko yang dijaga oleh pemuda-pemuda Kristen. Mereka juga bertemu dengan seorang pemuda Muslim yang berniat menutup toko tersebut.

Pertemuan ini berakhir dengan bentrokan antara keduanya. Kemudian pada 27 Desember 1998, datanglah sekelompok orang Kristen bersenjata yang menaiki truk dari Tentena, dipimpin oleh Herman Parimo, anggota DPRD Poso.

Parimo dikenal sebagai anggota Gerakan Pemuda Sulawesi Tengah (GPST). Di sisi lain, sedikitnya ada sembilan truk muslim yang datang dari Palu, Parigi, dan Ampana.

Bentrokan pun terjadi, di mana polisi tidak mampu menangkal mereka. Aparat Pemkab Poso diserang berat dengan spanduk, surat tanpa nama, dan coretan.

April 2000

Pada bulan April 2000 mantan Bupati Afgar Patanga berlangsung. Dalam persidangan, Patanga didakwa menggunakan dana dari program kredit pedesaan.

Ada desas-desus bahwa sebagian dari dana itu digunakan untuk menyewa massa untuk menyerang gedung pengadilan.

Pada 15 April, termasuk pertanyaan dari Chaelani Umar, anggota DPRD provinsi dari Partai Persatuan Pembangunan, bahwa akan lebih banyak kekerasan jika Damsik Ladjalani, calon bupati saat itu, tidak terpilih.

Keesokan harinya, seorang pemuda Muslim mengatakan bahwa dia diserang oleh sekelompok pemuda Kristen. Dia menunjukkan luka di lengannya sebagai bukti. Umat ​​Islam yang tidak menerimanya menanggapi.

Perkelahian terjadi antara pemuda Kristen dan pemuda Muslim. Selama beberapa hari perang berlanjut. Rumah-rumah milik umat Kristen Poso dibakar.

Kejadian ini mengharuskan Kapolres Poso untuk mendatangkan pasukan Brimob dari Palu.

Pada 17 April, anggota Brimob secara tidak sengaja menembaki massa yang mendukung Mohammad Yusni dan Yanto, dan melukai delapan pemuda Muslim lainnya.

Setelah Brimob dipulangkan ke Palu, pembakaran rumah masih berlanjut. Pangdam Wirabuana, Mayor Jenderal TNI, Slamet Kirbiantoro, di Makassar akhirnya mengirimkan 600 pasukan. Pertempuran mereda.

Mei 2000

Peristiwa Mei 2000 adalah pertempuran terbesar dan terburuk. Periode ini didominasi oleh reaksi Kristen terhadap Muslim. Selain itu, ada juga insiden penculikan dan pembunuhan. Wawancara Menurut Human Rights Watch, para migran dari Sulawesi Selatan dan Gorontalo pada umumnya menjadi korban aksi tersebut.

Pada awal Mei, muncul desas-desus bahwa banyak pemuda pelatihan Kristen telah membawa diri mereka ke sebuah kamp di Kerei.

Pasukan Kristen menamakan operasi ini “kelelawar merah” dan “kelelawar hitam”. Pasukan ini konon dipimpin oleh Fabianus Tibo, seorang pendatang dari Flores, NTT.

Pada pagi hari tanggal 23 Mei, sekelompok kelelawar membunuh seorang polisi, Sersan Walikota Kamaruddin Ali dan dua warga sipil Muslim, Abdul Syukur dan Baba.

Kelompok ninja (kelelawar hitam) ini kemudian dikenal dalam sebuah karya Katolik di Desa Moengko.

Mereka mulai bernegosiasi dengan polisi untuk menyerah. Umat ​​Islam juga sudah menunggu di depan gereja. Pasukan ninja menunjukkan diri, bukannya melarikan diri ke belakang bukit.

Aksi ini kemudian menyulut kemarahan umat Islam. Mereka membakar gereja pada pukul 10.00 WIB. Pada tanggal 28 Mei, serangan menjadi lebih luas terhadap Muslim.

Para wanita dan anak-anak ditangkap. Ada yang dibakar hidup-hidu didalam masjid dan beberapa dari mereka bahkan mengalami aksi pemerkosaan.

Sekitar 70 orang lari ke pesantren terdekat, Pesantren Walisongo, di mana banyak umat Islam dibunuh dengan senjata api dan parang.

Mereka yang melarikan diri juga ditangkap, yang kemudian dieksekusi dan mayatnya dibuang ke Sungai Poso. Di sekitar kuburan massal ditemukan 39 jenazah dengan jumlah korban tewas sekitar 191 orang.